Rabu, 09 April 2008

... aku menangis ...

06 : 14 pm

... aku sedang asyik membaca lagi e-mail2 lamaku, ketika sebuah judul memancing perhatianku.
Judul yang pernah ku baca dan membuatku menangis. " Mandikan aku Bunda ... "
Kisah tentang seorang anak dari orang tua yang sangat sibuk.

Huuuuh ... hal yang sama pernah ku rasakan. Alhamdulillah sekalipun dengan situasi yang hampir sama, nasibku masih jauh lebih baik. Bahkan bisa di bilang sangat jauuuuh lebih baik. Karena mama, papa ku tidak pernah seharian penuh meninggalkanku. Dan aku masih punya nenek dan aki yang sangat sayang pada ku. Dan setiap kali pulang ke rumah, sepenat apapun beliau berdua selalu menyempatkan diri untuk tetap bermain dengan manda kecil yang rindu pada keduanya. Sebagai pengganti waktu yang terlewatkan.

Situasi seperti itu sekarang banyak terjadi di tengah - tengah kita.
Ayah yang sibuk dan ibu yang tak kalah sibuknya, tak menyisakan waktu untuk anak - anaknya.
Mereka mempercayakan pengasuhan dan pengawasan anak - anak itu pada baby sitter atau pengasuh yang di percaya. Tinggal menyediakan telpon selular untuk sang pengasuh agar pengawasan menjadi lebih mudah.

Tidak jarang mereka lebih sayang pada sang 'nanny' daripada kepada kedua orang tuanya.
Mereka lebih kehilangan bila sang nanny pulang di bandingkan ayah atau ibunya yang pergi.
Ironis memang, tapi itulah yang banyak terjadi saat ini.

Aaaahh... anak - anak itu dimanja dengan kenyamanan materi. Materi dianggap mampu menggantikan kekosongan hati sang anak. Materi dianggap manifestasi cinta kedua orang tuanya.
Padahal kebutuhan jasmani hanya sebagian kecil saja bila di bandingkan dengan kebutuhan akan kasih sayang, perhatian dan kedekatan emosi. Lihat saja hasilnya... Mereka menjadi anak - anak manis di rumah, tapi begitu keluar dari rumah mereka mempunyai kepribadian yang sangat berbeda.

Dulu, ketika aku duduk di bangku SMU aku banyak mendapati hal ini terjadi pada teman - temanku.
Mereka adalah produk dari orang tua yang sibuk. " Saya bekerja banting tulang seperti ini, buat siapa lagi kalau bukan buat keluarga. " Alasan klasik yang sering kita dengar. Sang Ibu pun tak kalah sibuk, dengan sengaja menyibukan diri menjadi wanita karier. Mungkin kalau untuk membantu suami menunjang perekonomian keluarga, saya masih dapat memahami alasan ini. Tapi bila keadaan ekonomi yang sudah sangat mapan lalu statement ini keluar sebagai alasan, rasanya saya tidak dapat menerimanya.

Buat apa lagi mengejar karier ? Bukankah karier sebagai ibu rumah tangga tidak kalah hebatnya ?
Bahkan penghargaan tertinggi bukan lagi di berikan oleh manusia bila sang ibu mampu menjadi Ibu rumah tangga teladan, tapi ALLAH sendiri yang akan memberikan pujianNya.
Bukankah anak - anak adalah amanah yang harus di pertanggung jawabkan ?
Dan bukan hal yang ringan mempertanggung jawabkan hal itu di hadapan sang PEMILIK.
Apalagi bila kemudian kejadiannya seperti di email yang saya baca.
Kita mengalihkan tanggung jawab kita kepada pengasuh. Padahal Ibu adalah Madrasah terbaik bagi anak - anaknya.

Haruskah kita menyesali sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi ?

1 komentar:

m.salahuddin mengatakan...

jadi inget anak2ku..
walo ga 'diserahin' ke pembantu & tetep kami usahakan memperhatikan mereka, tapi tetep aja ada perasaan kurang sreg & bsalah karena cukup bnyak wktu kebersamaan dg mereka yg hilang
Smoga nnti bs lbh baik lagi
..tfs..